Bun Kalau Suami Tak Memberikan Uang Nafkah, Masih Berdosakah Istri Menolak Hubungan R*nj*ng?


Bagaimana hukummnya jika suami enggan kerja dan tak memberikan uang belanja pada istri, tapi suami selalu menuntut nafkah batin pada istri.
Lantas berdosakah jika istri kemudian menolak ajakan suami di r*nj*ng?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Suami maupun istri, masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sebanding dengan posisinya. Karena itu, bentuk hak dan tanggung jawab masing-masing berbeda. Kaidah baku ini Allah nyatakan dengan tegas dalam al-Quran,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Para istri memiliki hak yang sepadan dengan kewajibannya, sesuai ukuran yang wajar.” (QS. al-Baqarah: 228).

Diantara tanggung jawab terbesar suami adalah memberi nafkah istri. Allah berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’: 34).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan,

فاتَّقوا الله في النِّساء؛ فإنَّكم أخذتموهنَّ بأمانة الله، واستحْلَلْتم فروجَهنَّ بكلمة الله، ولهُنَّ عليكم رزقُهن وكسوتُهن بالمعروف

“Bertaqwalah kepada Allah dalam menghadapi istri. Kalian menjadikannya sebagai istri dengan amanah Allah, kalian dihalalkan hubungan dengan kalimat Allah. Hak mereka yang menjadi kewajiban kalian, memberi nafkah makanan dan pakaian sesuai ukuran yang sewajarnya.” (HR. Muslim No.3009).

Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi ancaman keras bagi suami yang tidak memperhatikan nafkah istrinya.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كفى بالمرْء إثمًا أن يضيِّع مَن يقوت

“Seseorang dikatakan berbuat dosa, ketika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi.” (HR. Abu Daud No.1694, Ibnu Hibban No.4240 dan dishahihkan oleh Syuaib al-Arnauth).
Ibnu Qudamah menyebutkan,

اتَّفق أهلُ العلم على وجوب نفقات الزَّوجات على أزْواجِهن، إذا كانوا بالغين؛ إلا النَّاشزَ منهنَّ، ذكره ابن المنذر وغيرُه

“Ulama sepakat suami wajib memberi nafkah istri, jika suami telah berusia baligh. Kecuali untuk istri yang nusyuz (membangkang). Demikian yang disebutkan Ibnul Mundzir dan yang lainnya.” (al-Mughni, 9/230).

Sebaliknya, istri diperintahkan untuk mentaati suaminya. Selama suami tidak memerintahkan untuk maksiat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka dia dipersilahkan untuk masuk surga dari pintu mana saja yang dia kehendaki.” (HR Ahmad No.1683, Ibnu Hibban No.4163 dan dishahihkan oleh Syuaib al-Arnauth).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan,

وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج

“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ al-Fatawa, 32/260)

Ketika Kewajiban Tidak Ditunaikan

Ketika salah satu tidak memenuhi kewajiban, maka yang terjadi adalah kedzaliman. Suami yang tidak memenuhi kewajibannya, dia mendzalimi istrinya dan sebaliknya.
Hanya saja, dalam keluarga, Islam tidak mengajarkan membalas pengkhianatan dengan pengkhianatan. Karena masing-masing akan mempertanggung jawabkan tugasnya di hadapan Allah kelak di hari kiamat.

Sehingga, ketika suami tidak melaksanakan kewajibannya untuk istrinya, Islam tidak mengajarkan agar tindakan itu dibalas dengan meninggalkan kewajibannya. Karena yang terjadi, justru timbul masalah baru.

Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im ar-Rifa’i mengatakan,

فإذا قصَّر أحدُ الزَّوجيْن في حقِّ الآخر، فليس للآخَر أن يقصِّر في حقِّه، فكلٌّ مسؤول عن تقْصيره يوم القيامة.

“Jika salah satu pasangan tidak menunaikan kewajibannya kepada yang lain, bukan berarti dia harus membalasnya dengan tidak menunaikan kewajibannya kepada pasangannya. Karena masing-masing akan dimintai pertanggung jawaban disebabkan keteledorannya, pada hari kiamat.”

Pelanggaran yang dilakukan oleh suami, tidak boleh dibalas dengan pelanggaran dari istri. Sehingga dua-duanya melanggar.

Karena itu, solusi yang diberikan pelanggaran balas pelanggaran, tapi diselesaikan dengan cara yang baik, antara bersabar atau pernikahan dihentikan.
Lalu apa yang harus dilakukan wanita?

Syaikh ar-Rifa’i melanjutkan,

وفي حالة تقْصير الزَّوج في الإنفاق، فالمرأة مخيَّرة بين أن تصبِر على ذلك، وبين أن تطلُب الطَّلاق، فإنِ اختارت الصَّبر، فإنَّه يَجب عليْها أن تُطيع زوْجَها، ويَجب عليها أن تؤدِّي كلَّ الحقوق الواجبة عليْها لزوجها، ومن ذلك حقُّه في الفراش، وإنِ اختارت الطَّلاق لَم تأثم بذلك

“Ketika suami tidak menafkahi istrinya, ada dua pilihan untuk si wanita, antara bersabar atau melakukan gugat cerai. Jika dia pilih bersabar, maka istri wajib untuk memenuhi kewajibannya kepada suaminya. Termasuk hak untuk melayani di ranjang. Dan jika istri memilih talak, dia tidak berdosa.”
Al-Qurthubi mengatakan,

فهِم العُلماء من قوله تعالى: {وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ} أنَّه متى عجَز عن نفقتها لم يكن قوَّامًا عليها، وإذا لم يكن قوَّامًا عليها، كان لها فسخ العقد لزوال المقْصود الذي شرع لأجْلِه النكاح

“Para ulama memahami dari firman Allah, ‘Disebabkan mereka menginfakkan harta mereka.’ bahwa ketika seorang suami tidak mampu memberikan nafkah istrinya, dia tidak disebut pemimpin bagi istrinya. Jika suami tidak lagi menjadi pemimpin bagi istrinya, maka istri berhak untuk melakukan gugat cerai. Karena tujuan nikah dalam kasus ini telah hilang.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/168).

Ibnul Mundzir mengatakan,

ثبت أنَّ عمر كتبَ إلى أُمراء الأجناد أن ينفقوا أو يطلِّقوا

“Terdapat riwayat shahih bahwa Umar menulis surat untuk para panglima perang, agar para suami memberikan nafkah istrinya atau mentalak mereka.” (Dinukil dari Subul as-Salam, 3/224).
Demikian, Wallahu A’lam.

Dosa Orangtua Akan Diampuni Allah Jika Istri Taat Pada Suaminya

Kewajiban anak adalah patuh kepada orang tuanya, namun ketika sudah menikah terutama anak perempuan maka baktinya berpindah kepada suaminya. Sebagaimana Dari Anas bin Malik RA dikisahkan bahwa ketika sang suami pergi untuk berjihad, ia memohon kepada istrinya agar sang istri tidak keluar dari tempat tinggalnya hingga sang suami pulang dari misi suci tersebut. Bertepatan dengan itu ayah dari sang istri tengah sakit. (foto cover: ilustrasi, sumber)

Dikarenakan sang istri sudah berjanji untuk patuh kepada suaminya maka sang istri tidak berani untuk menjenguk suaminya. Sang istri merasa khawatir kepada orang tuanya sehingga ia mengutus seseorang untuk bertanya kepada Rasulullah. Beliau menjawab, “Taatilah suami ” Sampai sang ayah meninggal dan dimakamkan ia tidak berani menghampiri ayahnya. Hingga ia bertanya kembali tentang keadaannya tersebut kepada Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah menjawab hal yang sama yaitu, “Taatilah suami ” Selang berapakah lama, Rasulullah SAW pun mengutus seseorang untuk meyampaikan bahwa “Allah telah mengampuni dosa ayahnya sebab ketaatannya pada suami.”

Hal yang dinukil oleh at-Thabrani menerangkan bahwa istri harus mendahulukan hak suami dari pada hak kepada orang tuanya ketika perempuan sudah menikah.

Bagi pasangan suami-istri, Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Al Jami’ fi Fiqh An Nisaa’ mengatakan bahwa wanita sama halnya dengan laki-laki harus sama-sama berbakti kepada orang tuanya. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA memperkuat hal semacam itu. Penghormatan pada ibu serta bapak begitu diutamakan oleh Rasulullah.

Yang mana hadist tersebut Imam Nawawi menyampaikan hadist yang disetujui kesalihannya yang memerintahkan agar selalu berbuat baik kepada keluarga terutama kepada ibunya karena ibulah yang paling memiliki hak untuk memperoleh kebaikan yang kedua yaitu ayah dan setelahnya baru keluarga.

Akan tetapi menurut syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam fatwanya yang dirangkum memang benar patuh kepada orang tua adalah keharusan bagi seorang wanita. Akan tetapi keharusan tersebut dibatasi selama wanita tersebut belum menikah.

Namun ketika seorang wanita ketika sudah menikah maka kewajiban utamanya adalah kepada suaminya. Selama ketataan tersebut masih berada pada jalur agama. Oleh sebab itu tidak disebut beragama orang tua yang masih ikut campur kehidupan rumah tangga putrinya ketika sudah menikah.

Jika hal tersebut terjadi tentu hal tersebut merupakan kekeliruan besar. Karena setelah menikah anaknya sudah memasuki babak baru karena ketika sudah menikah sudah bukan lagi tanggungannya melainkan menjadi tanggung jawab suami sepenuhnya. Allah SWT berfirman, “Kaum lelaki itu yaitu pemimpin untuk kaum hawa, oleh lantaran Allah sudah melebihkan sebahagian mereka (lelaki) atas sebahagian yang lain (wanita). (QS an-Nisaa’ 4 : 34).

Walau demikian, seorang anak yang sudah menikah bukan harus memtuskan tali silaturahim kepada orang tua, menghormatinya juga durhaka kepadanya. Seorang suami dituntut untuk melindungi talisaturrahmi antara istri dan keluarganya. Pada jaman sekarang sangat mudah untuk membangun tali silaturahmi dengan keluarga sang istri. Menurut Alqaradhawi memaparkan diantara hikmah membangun rumah tangga adalah melanjutkan estafet garis keturunan. Berarti keluarga dijadikan sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak ada intervensi pihak luar.

Jika terdapat campur tangan keluarga maka tentu akan menjadi tersendat. Menikah itu menghubungkan dua keluarga yang besar dari ikatakan pernikahan. Allah SWT berfirman, “Dan Dia (juga) yang membuat manusia dari air lantas dia menjadikan manusia itu (miliki) keturunan serta mushaharah serta yaitu Tuhanmu Mahakuasa. ” (QS al-Furqan 25 : 54).

Hadist tersebut menjelaskan bahwa sebagian hadist lain yang memperkuat mengenai prioritas utama ketaatan seorang istri kepada suami harus diutamakan dari pada kepada orang tuanya. Dinatara hadist tersebut yakni hadis yang diriwa yatkan oleh al-Hakim serta ditashih oleh al-Bazzar. Konon, Aisyah pernah bertanya pada Rasulullah, hak siapakah yang perlu diprioritaskan oleh istri? Rasulullah menjawab, “ (hak) suaminya. ” Lantas, Aisyah kembali ajukan pertanyaan, tengah kan untuk suami hak siapakah yang lebih paling utama? Beliau menjawab, “ (Hak) ibunya.”