Hamas Klaim Salah Satu Komandan Tertingginya Tewas Diserang Israel

10527 views


Hamas pada Selasa (17/10/2023) mengeklaim bahwa salah satu komandan tertinggi di kelompok sayapnya tewas dalam serangan Israel di Jalur Gaza.

“Ayman Nofal, ‘Abu Ahmad’, anggota dewan umum militer dan komandan komando pusat Brigade Al Qassam, tewas,” kata Hamas, dikutip dari kantor berita AFP.

Namun, militer Israel belum mengonfirmasi berita tersebut ketika dihubungi oleh AFP.

Israel membombardir Gaza yang dikuasai Hamas sebagai balasan serangan 7 Oktober 2023, gempuran paling mematikan dalam sejarah negara itu.

Lebih dari 1.400 orang tewas di Israel dan korban di Gaza tercatat di atas 2.700 orang, menurut pihak berwenang di kedua pihak.

Israel kemudian mengevakuasi banyak warganya di perbatasan selama perang berlangsung, sedangkan 2,4 juta penduduk Gaza tak bisa keluar dari Palestina.

2 tokoh senior Hamas tewas
Sebelumnya, Hamas pada Selasa (10/10/2023) mengonfirmasi bahwa dua tokoh seniornya tewas dalam serangan militer Israel di Jalur Gaza.

Kedua tokoh tersebut adalah Zakaria Muammar yang memimpin bagian ekonomi, dan Jawad Abu Shamala selaku koordinator hubungan dengan faksi-faksi lainnya sebagai kepala departemen hubungan nasional.
Hamas menggambarkan mereka sebagai pemimpin senior dan anggota biro politik kelompok tersebut.

Militer Israel sebelumnya mengatakan bahwa keduanya tewas dalam serangan udara pada malam hari.

Militer Israel menyebut Muammar adalah orang kepercayaan Yahya Sinwar, pemimpin Hamas di Gaza.

Adapun Shamala dikatakan memimpin sejumlah operasi yang menargetkan warga sipil dan negara Israel.

Perang Israel-Hamas, AS Siagakan 2.000 Tentara

Militer Amerika Serikat (AS) menyiagakan 2.000 tentara sebagai tanggapan meningkatnya perang Hamas vs Israel terbaru, kata Pentagon pada Selasa (17/10/2023).

Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin menempatkan personel dan sejumlah unit pada tingkat kesiapan tinggi sebagai persiapan untuk dikerahkan, kata Pentagon, dikutip dari kantor berita AFP.

Pentagon menambahkan, penyiagaan ini dilakukan untuk merespons dengan cepat situasi keamanan yang berkembang di Timur Tengah.

Media-media AS melaporkan, pasukan ini akan bertugas sebagai pendukung seperti bantuan medis dan penanganan bahan peledak.

“Belum ada keputusan yang diambil untuk mengerahkan pasukan apa pun saat ini,” imbuh keterangan Pentagon.

Penyiagaan pasukan ini dilakukan ketika Presiden AS Joe Biden menuju Israel pada Rabu (17/10/2023) untuk menunjukkan dukungan Washington terhadap sekutu utamanya tersebut.

Biden akan menjalankan misi mencegah perang Israel-Hamas di Gaza meluas ke konflik Timur Tengah.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan perang terhadap Hamas setelah serangan kelompok tersebut menembus perbatasan Gaza yang dijaga ketat pada Sabtu (7/10/2023).
Serangan Hamas menewaskan lebih dari 1.400 orang di Israel yang sebagian besar warga sipil, dan menyandera sedikitnya 199 orang.

Israel membalasnya dengan serangan udara, menewaskan lebih dari 2.700 orang yang mayoritas adalah warga sipil.

Militer Israel juga melakukan pengepungan yang melumpuhkan Gaza, dan mengerahkan puluhan ribu tentara ke perbatasan untuk persiapan serangan darat skala penuh.

Joe Biden Mau Datang ke Israel,Washington Cemas Presiden AS Jadi Target Langsung Hamas

Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden dilaporkan bersedia menerima undangan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengunjungi negara tersebut.

Niat Biden datang langsung ke Israel disebutkan sebagai bentuk dukungan langsung terhadap Tel Aviv atas situasi konflik yang terjadi saat ini.

Namun, laporan Politico yang mengutip dua sumber pemerintah di Washington menyebut, para pejabat Gedung Putih mengkhawatirkan keselamatan Biden di sana.

Undangan Netanyahu tersebut disampaikan melalui panggilan telepon pada Sabtu (14/10/2023).

“Perjalanan semacam itu – selama konflik bersenjata Israel dengan pejuang Hamas Palestina – berpotensi menjadi salah satu hal penting dalam masa kepresidenan Biden, serupa dengan kunjungan mendadaknya ke Kiev pada bulan Februari,” lapor outlet tersebut pada hari Minggu.

Menjelang perjalanan ke Ukraina, AS telah berkomunikasi dengan Rusia untuk tidak mencampuri rencana perjalanan Biden.

Laporan mengulas, ketika sirene menyambut kedatangan pemimpin AS di Kiev berbunyi, saat Biden bertemu dengan Presiden Ukraina Vladimir Zelensky, wartawan media Barat yakin kalau tidak ada tanda-tanda serangan rudal Rusia pada saat itu.

“Hamas, sebuah kelompok yang ditetapkan Amerika Serikat sebagai organisasi teroris, kemungkinan besar akan melakukan serangan provokatif terhadap presiden yang sedang dalam perjalanan (ke Israel),” kata surat kabar itu, mengutip pendapat seorang pejabat AS yang tidak mau disebutkan namanya.

Situasi yag dihadapi Biden di Israel bisa jadi berbeda dari apa yang dia alami saat berkunjung ke Ukraina.

“Beberapa anggota parlemen AS yang mengunjungi Israel pekan lalu harus berlindung di tempat perlindungan bom ketika sirene serangan udara berbunyi,” tulis laporan tersebut.

Pemerintahan Biden menjanjikan dukungan penuhnya kepada Israel setelah Hamas melancarkan serangan mendadak dari Gaza awal bulan ini.

Penyerangan dari Hamas tersebut mengakibatkan kematian lebih dari 1.300 warga Israel dan penangkapan puluhan sandera.

Pada Senin, juru bicara Pasukan Pertahanan Israel mengatakan 199 orang diidentifikasi ditahan di Gaza.

Pemerintahan Netanyahu telah menyatakan perang terhadap kelompok militan tersebut.

Militer Israel mengumumkan rencana pada akhir pekan untuk melakukan “operasi darat besar-besaran” dan memerintahkan warga sipil di Gaza untuk meninggalkan bagian utara wilayah yang diblokade.

Biden telah menyatakan keyakinannya kalau Israel akan melakukan yang terbaik untuk membatasi kematian warga sipil saat menyerang Hamas dengan masuk ke Gaza melalui serangan darat.

Washington dilaporkan juga telah meminta mediasi Qatar untuk menjamin pembebasan warga sipil di antara para sandera, beberapa di antaranya memiliki kewarganegaraan Amerika.

Rusia mengutuk kekerasan terhadap warga sipil yang dilakukan kedua belah pihak dalam konflik tersebut, dan Presiden Vladimir Putin menyebut tindakan Hamas biadab.

Moskow berpendapat kalau pendekatan Washington yang bias terhadap proses perdamaian Timur Tengah dan upaya untuk “memonopolinya”, menjadi penyebab eskalasi konflik yang terjadi saat ini.

Biden juga disebutkan telah mendesak adanya negosiasi yang sungguh-sungguh mengenai pembentukan negara Palestina, setelah situasi sudah tenang.

Gereja Tertua di Gaza Jadi Saksi Warga Muslim dan Kristen Palestina Berbagi Kasih dan Kemanusiaan

Wajah perang selalu dipenuhi oleh darah dan air mata.

Corak itu pula yang kental di perang antara pejuang perlawanan Palestina dan tentara pertahanan Israel (IDF).

Namun, perang ini juga menunjukkan sisi lain tentang ramahnya kasih sayang antarmanusia beragama dan sisi kemanusiaan yang memberikan perlindungan baik fisik maupun emosional dari jahatnya perang.

Cerita itu muncul, satu di antaranya dari Gereja Saint Porphyrius, gereja tertua di Gaza, wilayah yang menjadi target utama bombardemen Israel.

Di sana, warga Palestina, lintas-agama, berlindung dan saling menguatkan.

Al Jazeera dalam laporannya mengisahkan cerita Walaa Sobeh, seorang muslim Palestina warga Gaza.

Ketika serangan udara Israel menghancurkan rumah Walaa Sobeh dan sebagian besar lingkungannya, dia mencari perlindungan di gereja tua itu.

“Di sana , dia tidak hanya menemukan tempat perlindungan, namun juga perasaan menjadi bagian dari “satu keluarga” – disatukan oleh teror bom yang meledak di sekitar mereka dan harapan bahwa mereka dapat bertahan dari serangan Israel,” tulis laporan Al Jazeera..

Perasaan itu pula yang mendorongnya untuk menelepon kerabat lainnya di Gaza utara dan meminta mereka untuk pergi ke gereja juga.

“Sobeh dan keluarganya termasuk di antara ratusan warga Palestina dari berbagai agama yang menemukan keamanan – setidaknya untuk saat ini – di gereja,” tulis laporan tersebut.

Rentetan kejadian, serangan mematikan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober dan berbalas pemboman Israel tanpa henti di Gaza, telah memicu lonjakan Islamofobia di berbagai belahan dunia.

Namun gereja Ortodoks Yunani tersebut muncul sebagai lambang identitas yang lebih dalam sebagai bagian tak terpisahkan dari warga Palestina.

“Kami di sini menjalani siang hari, tidak yakin apakah kami bisa bertahan sampai malam. Namun yang meringankan penderitaan kami adalah semangat rendah hati dan hangat dari semua orang di sekitar kami,” kata Sobeh.

Dia menggambarkan, menerima dukungan yang sangat besar dari para pendeta dan orang-orang lain di gereja yang secara sukarela tanpa kenal lelah sepanjang waktu membantu keluarga-keluarga yang kehilangan tempat tinggal.

Sejauh ini, gereja tersebut lolos dari rudal Israel.

“Militer Israel telah mengebom banyak tempat suci,” kata Pastor Elias, seorang pendeta di Saint Porphyrius.

Dia mengaku, tidak yakin Israel tidak akan mengebom gereja tersebut, meskipun gereja tersebut menyediakan perlindungan bagi ratusan warga sipil.

Bom Israel sejauh ini sudah menghantam beberapa masjid dan sekolah tempat penampungan orang-orang yang rumahnya hancur karena diledakkan.

“Setiap serangan terhadap gereja, tidak hanya merupakan serangan terhadap agama, yang merupakan tindakan keji, tetapi juga serangan terhadap kemanusiaan”, kata Pastor Elias.

“Kemanusiaan kita menyerukan kita untuk memberikan kedamaian dan kehangatan kepada semua orang yang membutuhkan,” katanya.

Tempat Pelipur Lara
Dibangun antara tahun 1150-an dan 1160-an, dan diberi nama sesuai dengan nama uskup Gaza pada abad ke-5, Saint Porphyrius mampu memberikan penghiburan bagi warga Palestina di Gaza, terutama di saat-saat ketakutan.

“Dan meskipun tangisan anak-anak dan mereka yang putus asa karena terus tinggal di Gaza di bawah pemboman Israel kini bergema di tempat yang dulunya dipenuhi dengan doa dan nyanyian pujian, masih ada harapan,” tulis laporan tersebut.

Saat ini, halaman kuno dan koridor gereja tersebut menawarkan perlindungan bagi umat Islam dan Kristen.

“Karena perang tidak mengenal agama,” kata Pastor Elias.

Bersama sebagai Warga Palestina, Muslim dan Kristen
George Shabeen, seorang Kristen Palestina -ayah dari empat anak yang tinggal di gereja bersama keluarganya- mengatakan mereka tidak punya tempat lain untuk pergi.

Jalan-jalan di lingkungan mereka telah menjadi sasaran tiga serangan udara Israel.

“Datang ke sini menyelamatkan hidup kami,” katanya kepada Al Jazeera.

“Pada malam hari, kami berkumpul bersama, Muslim dan Kristen, tua dan muda, dan berdoa untuk keselamatan dan perdamaian,” katanya.

Bagi Sobeh, fakta bahwa keluarga-keluarga yang berbeda agama berkumpul di bawah atap gereja di tengah trauma pemboman itu sendiri adalah sebuah tindakan perlawanan.

“Tujuan Israel adalah menghancurkan komunitas kami dan menggusur kami,” tambahnya, suaranya bergetar.

“Mereka mungkin bisa membunuh kita. Tapi kita akan terus bersama sebagai warga Palestina, hidup dan mati, Muslim dan Kristen,” katanya.