‘Buah hati saya mati kelaparan’ – Anak-anak meninggal akibat kurang gizi dan dehidrasi di Gaza utara


Bagi Abeer al-Kaferna, Jamal merupakan anak dengan paras paling rupawan di rumah sakit. Perempuan itu mengenang kelahiran Jamal sembari memandang foto di ponselnya.

“Lihat betapa tampannya dia. Buah hati saya.”

Jamal adalah anak Abeer satu-satunya dan yang tersisa dari Jamal hanyalah fotonya. Bocah itu meninggal dunia pada 18 Januari silam.

Waktu Jamal berusia tiga bulan, dia mulai sakit-sakitan.

Kala itu, perang sudah berlangsung selama sebulan dan keluarga Jamal sudah beberapa kali mengungsi.

Suatu waktu, mereka semua nyaris tewas setelah serangan udara Israel menggempur kamp tempat mereka bernaung.

Jamal didiagnosa menderita infeksi usus dan diberi obat. Akan tetapi, kondisinya tidak kunjung membaik.

Awal Desember, 90% keluarga yang tinggal di Gaza bagian utara ini tidak makan selama berhari-hari, menurut data Program Pangan Dunia PBB. Abeer pun kesulitan menyusui bayinya.

Kurang asupan nutrisi dan dehidrasi, Abeer tidak bisa menghasilkan air susu ibu (ASI) yang cukup. Sementara susu formula tak tersedia di mana-mana.

Pada November, Jamal dalam kondisi sehat dan berat badannya mencapai 7kg, tetapi dengan cepat ini menyusut. Dalam hitungan pekan, berat badannya hanya 3,5kg.

Pada Januari, nenek Jamal, Esmahan, melihat cucunya terlihat “seperti tengkorak”.

“Kami tidak bisa menemukan susu untuknya,” kata ayah Jamal, Mahmoud al-Kaferna.

“Kami berupaya memberinya air tapi bahkan air pun terkena polusi.”

Keluarga Jamal mendapat resep tapi mereka tidak dapat menemukan obat-obatan yang dibutuhkan. Jamal akhirnya memperoleh perawatan rumah sakit, tetapi baru saja kondisinya mulai pilih, keluarga Jamal diminta angkat kaki.
“Rumah sakit bilang mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk Jamal dan ada anak-anak lain yang butuh perawatan,” ujar ayah Jamal.

Pada 17 Januari malam, suhu tubuh Jamal mulai turun dan dia batuk-batuk. Cairan putih keluar dari hidungnya.

“Kami bergegas lari ke rumah sakit pada malam hari saat bom berlangsung,” tutur Mahmoud.

“Mereka berusaha menyelamatkan nyawanya selama setengah jam tetapi tidak berhasil. Kurangnya makanan, air, dan perawatan yang tepat membunuh putra saya.”

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah berupaya untuk mengirim bantuan kesehatan ke utara Gaza. Hanya tiga dari 16 misi mereka yang diperbolehkan masuk oleh pasukan pertahanan Israel (IDF) pada Januari. Bulan Februari, tak satu pun misi bantuan WHO yang diberi izin masuk.

Ketika WHO mencapai utara Gaza awal Maret, tim mereka memperoleh kabar 10 anak-anak meninggal dunia akibat “kurangnya makanan” di salah satu rumah sakit.

Kementerian kesehatan Hamas menyatakan 27 anak-anak meninggal dunia karena malnutrisi dan dehidrasi di Gaza sejak pecahnya pernag. Angka itu diprediksi akan terus naik.

Sekitar 300.000 orang Palestina diperkirakan masih tersisa di Gaza bagian utara.

PBB dan para mitra kemanusiaan merencanakan 61 misi di utara pada Januari. IDF memfasilitasi sembilan di antaranya.

Setelah konvoi bantuan makanan PBB digempur Israel saat menunggu di dekat salah satu pos pemeriksaan, jumlah misi yang direncanakan PBB pun berkurang.

Dari 24 misi yang dirancang pada Februari, IDF memfasilitasi enam.

“Kemampuan PBB untuk mengakses utara [Gaza] adalah sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan apabila kami ingin dan bisa untuk berada di sana,” ujar Tess Ingram, kepala komunikasi Unicef, yang menghabiskan satu pekan di Gaza pada Januari dan beberapa kali berupaya masuk ke utara.

Israel mengatakan tidak ada pembatasan jumlah bantuan yang dapat dikirim dan menyalahkan agen-agen PBB atas kegagalan mereka mendistribusikan persediaan bantuan.

Akibatnya, orang-orang di Gaza bagian utara pun terlantar.

Khalid mengungsi di Kota Jabalia dengan lima anaknya dan 90 anggota keluarga lainnya. Kepada BBC, Khalid berkata keluarganya bertahan hidup dengan mengonsumsi rumput liar dan pakan ternak.

“Rasanya seperti makan kerikil,” ucapnya.

Setelah makan, Khalid menemukan darah setiap kali buang air besar dan perutnya terasa nyeri.

Beruntung, keluarga Khalid kemudian menemukan sekantong beras, penuh kotoran dan bebatuan, di tengah reruntuhan gedung. Mereka juga mencari bunga lampu, tanaman yang bisa dimakan dan tumbuh di kebun sebuah gedung yang dibom setelah hujan.

Namun, pakan ternak, nasi, bahkan rumput liar habis. Selama satu pekan di awal Maret, keluarga Khalid tidak punya apa-apa.

Negara-negara Arab dan Barat kini tengah berkoordinasi untuk menjatuhkan makanan ke Gaza. Khalid dan keluarganya lagi-lagi beruntung karena berhasil menangkap beberapa bungkus nasi dan daging dari bantuan yang dijatuhkan dari udara.

Meski begitu, organisasi-organisasi bantuan kemanusiaan menyebut cara ini tidak efisien sekaligus mahal untuk mengirim makanan ke wilayah tersebut.

Aseel, yang juga berada di utara Gaza, mengaku kepada BBC bahwa sebagian besar bantuan jatuh ke laut dan orang-orang harus berjuang untuk meraihnya.

Saudara laki-lakinya pergi ke situs bantuan pada pukul 06.00 tetapi pulang hanya dengan sekaleng ikan sarden. Hari berikutnya, dia cuma dapat dua botol air.

Sebagian bantuan jatuh di area-area yang dekat dengan perbatasan Israel dan IDF sudah memperingatkan para penduduk untuk tidak mendekatinya.

Semua orang berlari mengejar parasut, sampai akhirnya kami menyerah dan pulang dengan tangan hampa,” ujar Aseel.

Tiga orang di Gaza berkata kepada BBC bahwa bantuan dari udara hanya menguntungkan beberapa lusin dari total ribuan orang yang berusaha mengejarnya. Mereka yang tidak beruntung pulang kecapaian dengan tangan kosong.

PBB mengatakan sedikitnya 576.000 orang Palestina di Gaza – seperempat dari total populasi – sebentar lagi akan mengalami kelaparan.

PBB memperingatkan mereka yang ada di utara sudah kehabisan waktu karena sedikitnya makanan dan air bersih.

Bencana kelaparan akan dideklarasikan ketika 20% dari populasi menderita kekurangan makanan yang ekstrim, 30% populasi anak-anak menderita malnutrisi akut, dan dua dari setiap 10.000 orang meninggal setiap harinya akibat kelaparan, malnutrisi, atau penyakit.

Deklarasi ini dibuat oleh Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC), sebuah lembaga yang terdiri dari sejumlah badan PBB dan lembaga bantuan.

IPC akan merilis data terbaru tentang situasi ketahanan pangan di Gaza pada 18 Maret.

Desember lalu, PBB sudah mulai memperingatkan waspada bencana kelaparan. Sejak itu, jumlah bantuan masuk ke Gaza tidak kunjung membaik.

Pada Januari, rata-rata 150 truk bantuan memasuki Gaza setiap harinya – jumlah yang sangat merosot dibandingkan dengan total 500 truk bantuan dan persediaan produk komersil yang melewati perbatasan setiap hari sebelum perang pecah.

Pada Februari, angkanya jauh lebih turun – hanya rata-rata 97 truk setiap hari.

Bahkan di selatan Gaza yang punya akses lebih untuk mendapatkan bantuan, sebagian besar keluarga mesti bertahan hidup dengan makan sekali sehari.

Buah-buahan segar, sayur mayur, telur, dan daging sangat susah untuk ditemukan. Harganya juga 10 kali lipat dibandingkan sebelum perang.

“Saya butuh pinjaman internasional untuk memberi makan keluarga saya,” gurau Muhammad al-Najjar, yang mengungsi dari Jabalia ke Rafah dengan 11 anggota keluarganya.

Empat kaleng buncis, tiga kaleng kacang arab, dan 11 boks biskuit harus cukup untuk satu minggu. Keluarga Muhammad akan berusaha menambahnya kala mereka mampu, tentunya dengan biaya besar.

Nagham Mazid bekerja sebagai dokter relawan di Rumah Sakit Al-Aqsa Martyrs di pusat Gaza.

Dia menyaksikan angka pasien yang menderita dehidrasi dan penyakit usus kian meningkat karena kebanyakan mengonsumsi makanan kaleng. Ada pula pasien-pasien yang menderita keracunan makanan.

Rumah sakit juga mencatat melonjaknya angka kasus hepatitis dan anemia. WHO mengatakan kasus diaera dan infeksi saluran pernapasan akut juga kian tinggi, terutama pada anak-anak.

Keluarga bayi Jamal kini tidak punya makanan. Delapan sepupunya dan paman serta bibinya kelaparan.

Mereka hanya bisa berharap peruntungan mereka cukup supaya bisa kebagian bantuan melalui udara, laut, atau jalur darat.

Menteri Israel Serukan Umat Yahudi Serbu Masjid Al-Aqsa pada 10 Hari Terakhir Ramadhan

Menteri Keamanan Israel, Itamar Ben Gvir mendesak agar warga Yahudi diizinkan mengunjungi kompleks Masjid Al-Aqsa selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Diketahui, warga Yahudi pada tahun-tahun sebelumnya dilarang memasuki kawasan 10 hari terakhir Ramadhan, dikutip dari Middle East Monitor.

Ben Gvir, ketua partai sayap kanan Otzma Yehudit, adalah pendukung setia hak kunjungan ke kawasan Masjid Al-Aqsa.

Ia bahkan telah mengunjungi situs tersebut selama masa jabatannya sebagai menteri.

Pejabat senior keamanan telah diberitahu tentang permintaan Ben Gvir.

Ditolak kabinet
Namun, para pejabat senior kabinet telah menyatakan bahwa permintaan itu tidak akan dikabulkan.

Pasalnya, situasi keamanan saat ini masih tegang akibat perang yang sedang berlangsung di Gaza.

Hal ini berpotensi menimbulkan kerusuhan di kalangan masyarakat.

Tak hanya itu, seruan tersebut juga bertentangan dengan kebijakan yang melarang adanya serangan ke Palestina selama Ramadhan untuk mencegah meningkatnya ketegangan.

Sebagai informasi, kunjungan non-Muslim ke situs suci itu diperbolehkan pada waktu normal selama tiga setengah jam di pagi hari dan satu jam di sore hari dari Minggu hingga Kamis.

Namun, selama 20 hari pertama Ramadhan, kunjungan itu hanya diperbolehkan pada pagi hari, dikutip dari Times of Israel.

Israel batasi akses jemaah ke Al-Aqsa
Sebelumnya, pasukan Israel memasang kawat berduri di dinding sekitar area Lions’ Gate yang berdekatan dengan kompleks Masjid Al-Aqsa pada hari pertama Ramadhan.

Pasukan pendudukan juga memberlakukan pembatasan masuknya jemaah Palestina ke tempat suci umat Islam untuk shalat Tarawih pertama pada bulan Ramadhan.
Bukan kali ini saja, Israel sering kali menetapkan aturan pembatasan untuk jemaah Muslim di Masjid Al-Aqsa dengan alasan keamanan pada tahun-tahun sebelumnya.

Umumnya, pemerintah Israel akan melarang jemaah Muslim yang berusia muda untuk masuk ke kawasan masjid guna mengantisipasi adanya kekerasan yang mungkin terjadi.

Pada April 2023, polisi Israel sempat bentrok dengan warga Palestina di Masjid Al-Aqsa selama Ramadhan.