Salahkan Netanyahu, Eks PM Israel Berang Hamas Bisa Menyerang: Rakyat Tak Percaya Lagi padanya


Eks Perdana Menteri (PM) Israel Ehud Barak berang dan menyalahkan Benjamin Netanyahu sehingga Hamas bisa menyerang negara zionis itu.

Barak yang merupakan mantan pejabat militer, politik dan intelijen Israel menyebut kepemimpinan Netanyahu telah dipertanyakan oleh rakyatnya.

Ia menegaskan Netanyahu bertanggung jawab atas kegagalan memimpin pemerintahan yang disfungsional dan berujung pada penyerangan Hamas.

Barak pun menyebut serangan Hamas pada 7 Oktober lalu sebagai pukulan paling telak sejak Israel berdiri.

“Saya tak percaya bahwa orang-orang percaya pada Netanyahu untuk memimpin ketika ia membawa beban peristiwa dahsyat yang baru saja terhadap di bawah masa jabatannya,” kata Barak dilansir dari The Guardian.

Barak yang memimpin pemerintahan Israel dari 1999 hingga 2001 itu menegaskan bahwa Netanyahu harus segera mundur.

Pernyataan Barak itu muncul di balik meningkatnya kekhawatiran atas usaha pemerintah Israel membebaskan beberapa sandera yang ditahan Hamas di Gaza.

Beberapa keluarga dari orang-orang yang disandera memohon pemerintah untuk menegosiasikan pembebasan sebelum menyerang Gaza.

Sementara yang lainnya menegaskan, operasi militer untuk menghancurkan kepemimpinan Hamas menjadi satu-satunya solusi, meski membahayakan keselamatan sandera.

Barak pun bersuara terkait masalah sandera yang saat ini masih belum selesai.

“Sandera adalah masalah besar, salah satu yang menjadi perhatian pemimpin dan rakyat kita, tetapi pada saat yang sama ada keperluan untuk menghabisi kemampuan militer Hamas, dan peranannya sebagai pemimpin Gaza,” katanya.

Ia pun menggambarkan serangan Hamas, yang menghabisi sekitar 1.400 warga Israel sebagai sebuah kegagalan besar.

“Jelas sekali ini adalah kelalaian dan kegagalan di beberapa tingkatan. Kegagalan intelijen kami mengikuti persiapan yang dilakukan selama setahun terakhir, mungkin lebih lama lagi,” ujarnya.

“Tak mudah untuk memutuskan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi yang pasti masyarakat kehilangan kepercayaan, baik terhadap tentara maupun pemimpin politik,” tuturnya.

Prediksi Jalannya Pertempuran jika Israel Segera Luncurkan Invasi Darat ke Gaza

Wilayah Gaza bagian utara bisa menjadi medan pertempuran berdarah Hamas-militer Israel, dan puluhan ribu warga sipil bisa terjebak di tengah-tengahnya.

Peluang itu mengemuka ketika Israel mengerahkan puluhan ribu tentaranya ke wilayah dekat perbatasan dengan Gaza, untuk mempersiapkan serangan darat.

Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, mengatakan aksi militer di Gaza “mungkin memakan waktu satu, dua, atau tiga bulan, tetapi pada akhirnya tidak akan ada lagi Hamas”.

Gallant mengatakan operasi darat yang ditunggu-tunggu, “akan segera dilakukan”. Namun, kapan operasi tersebut berlangsung masih belum jelas.

Jika pasukan Israel masuk, mereka akan menghadapi perlawanan dari kelompok milisi Hamas di daerah perkotaan yang padat penduduk.

Wartawan BBC Arab, Feras Kilani, yang telah meliput beberapa perang di Timur Tengah dan berkali-kali melaporkan peristiwa dari Gaza, menganalisis dampak apa yang akan muncul dari langkah ini.

Saat BBC Arab berkendara ke kamp pengungsi Al-Shati di Gaza utara lima tahun lalu, saya mendengar suara benturan. Kedengarannya seperti kami sedang berkendara di atas jembatan, bukan di tanah padat.

Juru kamera yang bersama saya menjelaskan bahwa ini terjadi karena jauh di bawah aspal, tanah telah dilubangi untuk menciptakan jaringan terowongan yang sangat luas.
Digali oleh Hamas, terowongan tersebut membentang ratusan kilometer dan memungkinkan kelompok militan tersebut untuk memindahkan pasokan di bawah jalan-jalan sempit dan padat penduduk di Gaza tanpa terdeteksi.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah bersumpah untuk “meremukkan dan menghancurkan” Hamas setelah mereka menyerang Israel pada 7 Oktober, menewaskan lebih dari 1.400 orang.

Pasukan Israel telah melancarkan serangan udara ke Gaza dan langkah mereka selanjutnya diperkirakan adalah serangan darat. Jika hal ini terwujud, terowongan-terowongan ini akan menjadi bagian penting dari strategi tempur Hamas.

Hamas telah mengantisipasi serangan darat Israel dengan menimbun persediaan makanan, air, hingga senjata di jaringan terowongan itu.

Terowongan Hamas, yang beberapa di antaranya diyakini meluas hingga ke wilayah Israel, berpotensi memungkinkan para anggota kelompok itu bergerak tanpa hambatan dan menyergap pasukan Israel dari belakang saat mereka bergerak melalui Gaza utara.

Israel meyakini bahwa Hamas memiliki hingga 30.000 personel yang dilatih menggunakan senapan otomatis, granat berpeluncur roket, dan rudal anti-tank. Jumlah anggota Hamas sendiri didukung oleh kelompok lain seperti Jihad Islam Palestina dan faksi Islam yang lebih kecil.

Sejarah baru-baru ini menunjukkan betapa berbahayanya pertempuran di daerah perkotaan dan saya telah melihat sendiri apa yang bisa terjadi ketika kekuatan militer yang terlatih sekalipun mencoba mengepung dan menghancurkan musuh yang gigih dalam situasi seperti ini.

Pertempuran kota
Pada 2016, saya bersama dengan pasukan khusus Irak ketika mereka bersiap untuk menyerang Kota Mosul.

Pihak berwenang telah memutuskan untuk mengepung kelompok militan ISIS, dan memastikan mereka tidak punya jalan untuk mundur. Kebijakan ini menempatkan kota ini dalam arena pertempuran yang brutal dan mematikan.

Pada hari kami memasuki distrik pertama Mosul, perlawanan yang dilakukan para militan sungguh luar biasa. Mereka menembakkan apa saja ke arah konvoi mobil Humvee kami, termasuk senapan, granat, dan rudal yang diluncurkan dari bahu.

Kemudian, perangkap dipasang di dalam atau di atas apa saja yang dapat Anda bayangkan – dari lemari es, televisi di rumah-rumah penduduk, hingga bongkahan emas serta senjata yang dibiarkan tergeletak di tanah.

Mengambil atau berdiri di atas benda yang salah berujung maut.

Bahaya yang sama juga bisa menanti pasukan Israel jika mereka bergerak ke kota Gaza.

Pada tahap-tahap terakhir pertempuran di Mosul, saya melihat banyak tentara Irak yang fokusnya telah berubah.

Pertempuran itu begitu hebat dan berbahaya sehingga mereka hanya bisa memikirkan nyawa sendiri dan tidak bisa mengambil risiko untuk melindungi warga sipil.

Risiko lainnya adalah penembak jitu, yang bersembunyi di gedung-gedung dan reruntuhan di seluruh kota. Pasukan Irak sering menggunakan kekuatan udara untuk mengebom seluruh wilayah guna menghentikan mereka.

Pasukan Israel mungkin dihadapkan pada pilihan baik itu mengambil risiko besar dengan melawan penembak jitu Hamas yang terlatih atau meratakan seluruh bangunan dari udara untuk menghentikan mereka.

Konvoi pasukan yang kami tumpangi di Mosul terkena oleh beberapa bom mobil dan lima tentara yang bersama kami tewas dalam ledakan besar yang terjadi setelahnya.

Syok para penyintas, yang melihat teman maupun lawan mereka tewas oleh ledakan tersebut, terlihat jelas.

Hamas tidak diketahui sering menggunakan bom mobil, namun mereka pernah mengerahkan pelaku bom bunuh diri sebelumnya. Dampak serangan semacam ini terhadap pasukan keamanan bisa sangat besar.

Tidak jelas berapa lama serangan darat di Gaza akan berlangsung, namun berkaca pada perlawanan sengit yang dilakukan oleh kelompok ISIS di Mosul membuat pasukan Irak membutuhkan waktu sembilan bulan sampai akhirnya menguasai wilayah tersebut.

Jalur yang aman
Kondisi sangat berbeda terjadi di Kota Raqqa, Suriah, pada 2017. Kala itu, sekelompok besar milisi dikepung di daerah padat penduduk.

Namun dalam situasi tersebut, koalisi pimpinan pasukan AS dan Kurdi memutuskan untuk memberikan pilihan kepada para milisi untuk pergi.

Saya telah meliput usaha keras Kurdi melawan ISIS selama bertahun-tahun dan salah satu pemimpin mereka membawa saya ke pertemuan rahasia dengan seorang komandan AS di Suriah.

Dia menyetujui permintaan para pemimpin Arab setempat untuk mengizinkan anggota ISIS dan keluarga mereka meninggalkan Raqqa.

Kesepakatan ini menghindarkan kota tersebut dari kehancuran total akibat pertempuran. Jumlah korban baik di kalangan militer maupun warga sipil pun jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah korban di Mosul.

Sehari setelah para milisi pergi, warga sipil yang masih tinggal di kota keluar dari rumah dengan perasaan lega karena mereka selamat. Mereka takut akan tewas dalam serangan besar-besaran di kota itu.

Apakah pertempuran darat di Gaza bisa seperti ini?

Kesepakatan semacam ini sulit menjadi pilihan bagi Israel dan Hamas mengingat letak geografis Gaza.

Raqqa adalah kota yang relatif terpencil di Suriah dan para militan yang diizinkan meninggalkan wilayah tersebut dapat pergi ke pedesaan sekitarnya.

Jika dibandingkan, Jalur Gaza sangatlah kecil dan tidak ada tempat yang bisa dituju oleh para militan Hamas.

Pengasingan
Pada masa lalu, kesepakatan telah ditempuh untuk mengirim orang-orang ke tempat yang jauh.

Pada 1982, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) setuju meninggalkan Beirut di Libanon, tempat mereka dikepung oleh pasukan Israel selama tiga bulan.

Pimpinan PLO pergi ke Tunisia dan anggota lainnya mengungsi di Afrika Utara dan Timur Tengah.

Meskipun kesepakatan seperti ini mungkin menawarkan cara untuk meminimalkan pertempuran dan kematian warga sipil di Gaza, sulit untuk melihat apakah hal ini bisa dilakukan secara politis.

Pemerintah Israel telah berjanji untuk menghancurkan Hamas setelah serangan pada tanggal 7 Oktober. Lagipula, membiarkan pimpinan Hamas melarikan diri ke negara asing akan menimbulkan kemarahan publik Israel.

Jika Israel berkeras melancarkan serangan darat, pertempuran Gaza bagian utara bisa menjadi medan pertempuran berdarah antara Hamas dan pasukan Israel, dan puluhan ribu warga sipil bisa terjebak di tengah-tengahnya.